Kamis, 21 Januari 2010

Ide-ide Keberagaman ===(Ulil Abshar-Abdalla for Ketua Umum PBNU)===

Jumat, 22 Januari 2010 | 04:59 WIB

Jakarta, Kompas - Pascameninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, semangat keberagaman dalam menjalankan agama dan kepercayaan tidak boleh berhenti. Masyarakat, juga kalangan media massa, harus terus mendorong keberagaman dengan mengembangkan ide-ide toleransi untuk kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.

Hal itu dikemukakan tokoh muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla, Kamis (21/1), pada diskusi ”Prospek Demokrasi dan Kebebasan 2010” menandai peluncuran Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta Media Center.

Diskusi ini juga menghadirkan pembicara Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy M Bayuni.

Ulil Abshar Abdalla menyatakan, Gus Dur sebagai bapak pluralisme di Indonesia tentu tidak ingin keberagaman yang dirintisnya itu kandas. Kepergian Gus Dur justru harus menjadi tantangan bagi pejuang keberagaman tetap menghidupkan semangat tersebut.

Pascafatwa haram Majelis Ulama Indonesia mengenai pluralisme (termasuk liberalisme dan sekularisme agama) pada 2005, perjuangan keberagaman itu terkesan meredup. Kalangan pengelola media massa juga cenderung melakukan sensor internal setiap kali melansir pemberitaan soal keberagaman.

Terkait upaya untuk terus menghidupkan ide-ide keberagaman, lanjut Ulil, apakah mungkin di masyarakat juga dibentuk semacam otoritas yang melegitimasi perlunya keberagaman. Nurcholish Madjid, misalnya, adalah tokoh yang memiliki otoritas yang perkataannya bisa semacam fatwa.

Siti Musdah Mulia mengemukakan, aspek penting bagi komunitas keagamaan adalah berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama, termasuk di dalamnya hak kemandirian mengatur organisasi.

Kebebasan menjalankan agama seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan itu pun demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik. ”Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama tanpa membedakan suku, bahasa, agama, keyakinan, politik, ataupun asal- usulnya,” kata Siti Musdah Mulia.

Bagi Endy M Bayuni, dalam 11 tahun reformasi ini, diakui, banyak memberikan kemajuan terhadap kebebasan seiring dengan berkembangnya revolusi teknologi informasi. (WHO)

100 Hari SBY dinilai Gagal...

BERBAGAI aktivis, budayawan, dosen dan ilmuwan menilai bahwa pemerintahan SBY telah gagal. Sebab itu mereka juga menuntut SBY untuk turun dari Istana. Kegagalan tersebut misalnya terlihat dari belum tuntsanya kasus skandal Bank Century yang diduga melibatkan Boediono dan Sri Mulyani. Hal tersebut diungkapkan pada diskusi “Pergolakan Politik Indonesia: Arah dan Implikasinya” yang menghadirkan Hendri Saparini, Ridwan Saidi, Fuad Bawazier, Haris Rusli. Tidak lupa hadir pula dalam forum ini Sri Bintang Pamungkas dan Permadi.

Dalam bidang ekonomi, Hendri Saparini menilai bahwa apa yang selalu dirujuk oleh pemerintah indikator ekonomi yang elitis. Misalnya adalah inflasi dan harga saham. Sedangkan indikator ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat banyak, misalnya kenaikan sembako, tak pernah menjadi perhatian pemerintah. “Pemerintah selalu menilai pertumbuhan ekonomi dari indikator elitis seperti saham dan inflasi” ujarnya.

Ia juga menilai bahwa kebijakan Boediono dan Sri Mulyani dalam bailout Bank Century tidak rasional. Melalui teori ekonomi ia menjelaskan bahwa sistemik atau tidaknya suatu Bank itu dapat dilihat dari dua segi. Pertama kalau bank tersebut besar. Dalam hal ini ia menilai Bank Century bukanlah Bank yang besar. Kedua Bank tersebut memiliki keterkaitan dengan bank yang lain. Dalam hal ini bank Century tidaklah mungkin berdampak sistemik karena ia masuk dalam kedua kategori si atas.

“Jangan-jangan Bank Century ini hanya warung rokok yang kecil dan tidak memiliki keterkaitan dengan yang lain. Terus warung rokok tersebut dirampok lagi. Ya jadinya kan sudah tidak apa-apa lagi disana”, ujar pengamat ekonomi tersebut. Dalam kesempatan ini, ia pun mendesak Boediono dan Sri Mulyani untuk bertanggung jawab dan jangan membodohi rakyat. Penjelasan-penjelsan Boediono selama ini menurutnya tidak masuk akal dan membodohi masyarakat.

Sementara itu Fuad Bawazier juga melihat ekonomi yang dikembangkan oleh SBY kini bersifat neolib dengan pemberlakuan FTA ASEAN-Cina. Perdebatan pembangunan antara neolib dan ekonomi kerakyatan tersebut sebenarnya sudah berjalan selama 40 tahun yang lalu. Tetapi memang kaum neolib ini selalu bekerja dengan penguasa. Sementara itu kaum ekonomi kerakyatan selalu berada di pinggiran. Dalam hal ini. Kaum neolib selalu memfasilitasi penguasa untuk mencuri uang rakyat melalui kebijakan-kebijakan tertentu. Ia pun melihat bahwa kasus bank Century ini adalah tindakan kaum neolib yang memfasilitasi penguasa untuk mencuri uang rakyat melalu mekanisme bailout.

Di bidang hukum, Ridwan Saidi melihat berbagai kejanggalan dalam soal penegakkan hukum yang terjadi di pemerintahan SBY kini. Misalnya kasus Antasari Azhar, Susno Duadji, Bibit dan Chandra dan tak lupa juga penuntasan Bank Century. Ia pun bertanya “apakah Kapolri berada di balik skandal Antasari Azhar dan Susno Duadji?” tanyanya. “apakah SBY berada di balik skandal Century?” ujarnya mempertanyakan peran SBY dalam bailout Century.

Berdasarkan analisa atas keadaan tersebut, kelompok masyarakat yang menamakan diri “Perkumpulan Renaissance Indonesia” ini menuntut SBY untuk mundur. SBY dilihat gagal terutama dalam beberapa hal; kasus bank Century yang tidak tuntas, penegakkan hukum yang amburadul misalnya terkait dengan Susno Duadji dan Antasari Azhar, juga kasus Bibit-Chandra, lalu juga dalam bidang ekonomi yang memaksakan Indonesia masuk dalam FTA. [jakartapress]
100 Hari SBY dinilai Gagal